Wak
Geng and The Geng
Bermalam
di rumah Ayu
“Loh! Ini kan simpang
yang tadi, kok bisa jumpa lagi? Jangan-jangan aku salah arah? Tapi, kayaknya
gak salah kok, aku yakin banget kalo tadi aku jumpa simpang yang ini, buktinya
tiang listriknya masih ada di sini, berarti aku gak salah jalan dong. Baiklah,
aku gak boleh menyerah, mungkin kafenya ada di depan sana, aku tinggal jalan
beberapa puluh meter lagi dan aku pasti akan sampai di kafe. Semangat Nang,
sebentar lagi kau akan sampai”.
Taunang mencoba
menyemangati dirinya sendiri meskipun sebenarnya ia sudah tahu kalau ia sedang
tersasar, ia tetap bersikeras untuk melanjutkan perjalanan ke arah yang menurutnya
benar.
Akan tetapi, setelah
mencoba melanjutkan perjalanannya kembali sejauh ratusan meter, Taunangpun
akhirnya mulai merasa putus asa juga. Meskipun Taunang orang yang sangat keras
kepala dan sangat bersemangat, namun ia tidak dapat memaksa tubuhnya untuk
bergerak lebih jauh lagi, iapun kemudian berhenti di sebuah komplek pertokoan
untuk beristirahat.
“Heran, udah sejauh ini
aku jalan kok kafe Wak Geng gak kelihatan juga ya? Dan anehnya lagi, di daerah
sini kenapa setiap simpang ada tiang listriknya ya? Kayaknya aku beneran nyasar
nih. Gawat, bisa tidur di luar lagi aku malam ini. Tapi, ya sudahlah, gak ada
gunanya juga aku mengeluh, lebih baik aku istirahat dan tidur di teras toko itu
aja, kayaknya di sana lumayan bersih, tinggal nyari alasnya doang nih”
Taunang kemudian
berjalan mengitari sekitar daerah tersebut untuk mencari kardus yang akan
dijadikannya alas tidur, setelah beberapa saat iapun berhasil menemukan sebuah
kardus di dalam keranjang sampah.
“Ada kardus nih, masih
bersih lagi. Syukurlah! Lumayan buat dijadiin alas tidur, ya biarpun sedikit
bau tapi gak masalah, yang penting masih bisa dipakai. Oke, tinggal aku
bentangin kayak gini, seeet, terus aku tidurin deh. Aaaahh!! Leganya!! Ahirnya
aku bisa juga ngelurusin badan”.
Segera Taunang merebahkan
tubuh lelahnya di depan teras toko tersebut, dengan hanya beralaskan selembar
kardus Taunang mulai memejamkan kedua kelopak matanya sehingga tak berapa lama
kemudian ia pun tertidur pulas. Taunang memang merasa sangat lelah, sebab
selain banyaknya pelanggan kafe yang harus ia layani, ini juga merupakan hari
pertamanya bekerja sehingga tubuhnya belum terbiasa untuk melakukan aktivitas
sebanyak itu..
Meskipun udara terasa
begitu dingin dan beberapa ekor nyamuk sedari tadi menggigitinya, namun Taunang
nampak tak terganggu dengan keadaan di sekitarnya. Tubuhnya benar-benar lelah
untuk terganggu akan hal-hal kecil seperti itu, bahkan ia malah terlihat
terlelap di atas permadani kardusnya.
“Nang!! Nang!”.
Samar-samar telinga Taunang
menangkap sebuah suara yang memanggil-manggil namanya. Ia mencoba untuk bangun
dan membuka kedua matanya, namun hal tersebut urung dilakukan karena matanya
masih terasa begitu berat untuk diangkat, Taunangpun memejamkan matanya
kembali. Akan tetapi dengan ekspresi muka kaget, Taunang tiba-tiba langsung
bangkit dan berdiri.
“Aku kan orang baru di
sini, mana mungkin ada yang kenal samaku, apalagi tau namaku”. Ujar Taunang di
dalam hati.
Dengan mata besarnya, Taunang
mencoba memperhatikan keadaan di sekitarnya dengan seksama, matanya memang
belum bisa menemukan pemilik suara yang memanggil-manggil namanya tersebut,
namun tetap saja dengan cepat mata tersebut menelusuri dengan teliti setiap
sudut yang ada di sekelilingnya guna mencari siapa orang yang memanggil namanya
tadi. Tiga menit sudah ia mencoba melihat dan memperhatikan daerah
sekelilingnya, namun juga ia berhasil menemukan dari mana suara itu berasal.
Hingga pada akhirnya ia mengambil sebuah kesimpulan kalau itu hanyalah
halusinasinya saja.
“Gak ada siapa-siapa. Ah!
Mungkin cuma perasaanku aja, paling-paling juga suara kodok lagi minta hujan.
Yosh! Waktunya ngelanjutin tidur di kasur terempuk sedunia, selamat malam!!”.
Ujar Taunang
Taunang kembali
merebahkan diri di atas kardusnya, namun belum sempat ia menutup kedua matanya
kembali, tiba-tiba terdengar lagi suara yang memanggil namanya. Ia sadar kalau kali ini ia tidak sedang
berhalusinasi, sebab suara itu terdengar cukup jelas di kedua telinganya, dan
kali ini ia juga bisa memastikan bahwa suara itu adalah suara seorang
perempuan.
“Nang! Nang!
Taunaaang!!”.
“Oi! Siapa itu? Hantu
ya? Hantu dari jenis kuntilanak atau sundel bolong? Ada apa kok manggil-manggil
nama saya? Dan dari mana kamu tahu nama saya sedangkan saya aja gak tahu nama
kamu? Kalau mau kenalan besok siang aja ya, saya ngantuk nih, pengen tidur.
Jangan ganggu dulu ya, mohon kerjasamanya, terima kasih. Oh iya, Kamu jangan
pergi dulu ya Hantu, tolong jagain saya, saya paling takut sama hantu, jadi
kalau ada hantu lain yang mendekati saya tolong bilangin saya lagi gak mau
diganggu. Terima kasih”.
“Aku bukan hantu loh
Nang, aku Ayu”.
“Bwahahaha! Dasar hantu
goblok! Kamu fikir saya akan tertipu dan percaya kalau kamu itu kak Ayu dan
bukan hantu? Udah deh, saya lagi gak pengen bercanda loh Hantu yang ngaku sebagai
kak Ayu. Kalo Hantu yang ngaku sebagai kak Ayu mau kenalan sama saya, besok
pagi aja ya sekalian saya juga mau minta tolong sama kamu buat nganterin saya
ke kafe Wak Geng, saya lagi nyasar nih”.
“Nang, ini beneran aku.
Ayu. Kau liat di depan kau ada patung kuda kan? Coba kau jalan ke arah sana,
aku ada di balik patung kuda itu”. Ujar Ayu sambil setengah berbisik
“Apa? Agak kencengan
dikit ngapa ngomongnya wahai hantu yang ngaku sebagai kak Ayu, gak kedengeran
jelas nih”.
“BANYAK TANYA, CEPAT KE
SINI!!”.
“I..iya, Saya akan
segera ke sana. Kalo ini gak salah lagi, ini pasti suara kak Ayu”.
Taunang langsung
buru-buru berjalan ke arah asal teriakan tadi karena memang ia yakin suara
tersebut adalah suara Ayu, dan benar saja, setelah melewati patung kuda yang
terletak di tengah-tengah sebuah simpang empat, ia menemukan Ayu sedang berdiri
di sana sambil memegang sebuah bungkusan plastik berwarna hitam.
“Eh kak Ayu, haha. Maaf
kak, tadi saya fikir yang manggil-manggil nama saya itu hantu yang menyamar
jadi kakak, ternyata beneran kak Ayu”.
“Enak aja bilang aku
hantu, ya cantikan aku lah. Aku ini Ayu beneran loh Nang, kalo gak percaya liat
nih kakiku, masih nginjek tanah kan?”.
“Eh, iya juga sih, memang
masih lebih cantik kak Ayu sedikit dari pada hantunya”.
“Sedikit? Maksudmu?.
Ish..udah ah, ternyata kau itu ngeselin ya Nang”.
“Hehe, becanda loh kak.
Oh iya, ngomong-ngomong kakak ngapain di sini sendirian, malam-malam lagi, apa
kakak gak takut diculik sama penjahat?”.
“Eng, enggak, enggak
ngapa-ngapain, cuma kebetuln lewat dari sini aja, eh kebetulan jumpa sama kau”.
“Beneran kak? Bohong
berdosa loh”.
“Iya..iya. Aku ngaku
deh. Jadi gini, aku kan biasanya pulang dari kafe tuh barengan sama Dwi. tapi
berhubung aku masih segan sama Dwi karena udah marah-marahin dia tadi jadi aku
gak berani ngajak dia pulang bareng. Aku sih sebenarnya pengen minta bang
Nindrong buat nganterin aku pulang, tapi dia udah pergi duluan sama kak Molin.
Jadi, mau gak mau terpaksa deh aku pulangnya ngikutin kalian berdua karena aku
fikir kau akan nganterin Dwi ke rumahnya, eh gak taunya malah ke rumah sakit,
dan setelah pulang dari sana kau malah jalan mutar-mutar gak tentu arah dan
malah tiduran di depan teras toko”.
“Loh, jadi dari tadi
kak Ayu ngikutin saya dan mbak Dwi ya? Hahaha. Kak Ayu sih gak ngomong ke saya
kalau mau dianterin pulang, kalo tau gitu kan kami tadi jalan ke arah rumah kak
Ayu dulu. Iya saya lupa jalan pulang kak, namanya juga orang baru di sini. Oh
iya, kenapa kakak gak minta dianterin sama Bulwan kak? Dia kan gak nganterin
siapa-siapa tuh jadi saya rasa kakak bisa minta tolong sama dia kak”.
“Ahahaha, Enggak deh,
bang Bulwan kan orangnya sibuk banget, aku gak mau ngerepotin dia”.
“Oh gitu, emm, yaudah
yuk saya anterin ke rumahnya kak Ayu. Tengah malam kayak gini biasanya banyak
penjahat berkeliaran kak, bahaya loh, udara di luar juga dingin banget, gak
baik buat kesehatan kakak, mari biar saya antar”.
“Emm, baiklah. Tapi kau
jangan macam-macam sama aku ya, kalau kau berani macam-macam aku hajar kau
sampai babak belur”.
“Widih, galak amat! Enggak
kok kak, saya gak akan berani ngapa-ngapain kakak, tenang aja”.
“Yaudah, kalau gitu
ayok kita jalan, Tapi ingat, aku jalan di depan dan kau harus selalu di
belakang. Ikuti aku biar kau gak tersesat lagi, mengerti?”.
“Mengerti kak”.
“Yaudah, yok jalan!!”.
_____
“BESARNYAAA!!!
I..i..ini rumah kakak? Widih, gede amat, kayak istana. Buseeet!! Berapa orang
ya yang bisa tidur di dalamnya ini. Ckckck. Udah halamannya luas, rumahnya
besar, kelihatan mewah lagi. Widih!! Ternyata kakak orang kaya toh? Hebat
banget ya bisa punya rumah segede ini”.
“Ini bukan punya aku,
tapi rumah orang tua aku, aku di sini cuma numpang. Yaudah yuk masuk, biar aku
buatin minuman hangat supaya kau gak kedinginan”.
“Ma..masuk? Boleh nih
kak? Anu, saya langsung pamit aja ya kak, saya gak enak nih sama orang tuanya
kakak”.
“Boleh, udah masuk aja,
gak usah sungkan. Orang tua saya juga lagi gak ada di rumah, mereka lagi keluar
kota”.
“Lagi gak di rumah?
Berarti kakak sendirian aja? Enggak kak, saya pulang aja. Maaf saya menolak
kebaikan kakak tapi saya gak mau tetangga kakak menuduh yang enggak-enggak.
Kalau gitu saya permisi balik ke kafe dulu ya kak, selamat malam!”.
“Eh Nang, tunggu...”.
Ayu menarik lengan
Taunang tepat di saat Taunang akan pergi. Dipegangnya tangan Taunang dengan
erat sehingga membuat langkah Taunang terhenti. Selama beberapa detik Taunang
dan Ayu saling bertatap mata tanpa sepatah katapun yang keluar dari mulut
mereka masing-masing, sampai pada
akhirnya Ayu mulai membuka pembicaraan.
“Nang! Tunggu dulu,
aku..aku..Maafin aku ya Nang, gara-gara aku kau jadi dipukul ole bang Bulwan,
aku lah yang harusnya kena marah bang Bulwan, bukan kau. Aku mohon kau jangan
pergi dulu Nang, izinkan aku untuk mengobati luka di pipi kananmu itu Nang. Aku
mohon kasih aku kesempatan untuk menebus kesalahanku sebelumnya. Ya, ya,
plissss”.
“Duh, gimana ya kak. Saya
sebenarnya bukannya gak mau main ke rumah kakak, tapi saya gak enak nih sama
tetangga kakak, saya takut timbul fitnah. Kalo tetangga sekitar tau saya sedang
ada di dalam rumah kakak jam segini, bisa-bisa kita dituduh yang enggak-enggak
kak, apalagi di rumah juga gak ada siapa-siapa, kakak juga yang rugi nanti.
Jadi saya balik ke kafe aja ya, saya udah maafin kakak kok, dari awal juga saya
sama sekali gak marah dan nyalahin siapapun atas kejadian tadi. Jadi kakak gak
perlu minta maaf sama saya”.
“Tapi Nang, aku tuh
cuma mau menebus rasa bersalahku doang, gak lebih. Kalo gak gini aja, kita
duduk sebentar di ayunan di taman rumahku ya, sambil kita minum minuman hangat
dan mengobati lukamu, setelah itu kau boleh pulang, gimana? Mau kan?”.
“Tapi kak, ini udah
larut malam loh, lebih bagus saya balik aja ya ke kafe kak, saya beneran gak
enak nih kalo...”.
“Nang, aku memaksa!!
Kau boleh kok langsung balik ke kafe, tapi setelah kau kubuatkan minuman untuk
menghangatkan tubuhmu dan aku selesai mengobati lukamu”.
“I..iya..ya udah deh,
terserah kak Ayu aja”.
“Kalo gitu, kau duduk
dulu di ayunan itu ya, sambil menunggu aku buatin minum dan mengambil obat
merah. Kalo gitu aku masuk dulu, ingat! Jangan pergi atau aku akan sangat marah
samamu”.
Sementara Ayu masuk ke
dalam rumahnya, Taunang segera berjalan ke arah taman yang ditumbuhi berbagai
tanam hias berharga mahal nan cantik yang tertata rapi tersebut. Beberapa lampu
taman juga sengaja diletakkan di beberapa titik strategis yang berguna
menerangi pekarangan, menambah cantik pemandangan halaman rumah tersebut ketika
malam hari. Di tengah-tengah taman, terdapat sebuah kolam berukuran 5x5 meter
dengan sebuah patung putri duyung yang sedang membawa kendi yang terletak di
tengah-tengah kolam. Sementara itu di dasar kolam terdapat puluhan ekor ikan
mas yang sedari tadi terus berenang tak tentu arah, melenggak-lenggokkan ekor
dan siripnya ke kiri dan ke kanan, seolah sama sekali tak mempedulikan
kehadiran Taunang yang sedari tadi memperhatikan mereka dari pinggir kolam. Setelah
cukup puas melihat-lihat keindahan halaman rumah tersebut, Taunangpun duduk di sebuah
ayunan yang letaknya tepat berada di samping kolam.
Beberapa menit sudah
berlalu, namun Ayu tak juga muncul dari dalam rumah sehingga membuat Taunang
sedikit bosan, dengan sedikit menggerakkan ayunan tersebut ke depan dan ke
belakang, ia kemudian menengadahkan kepalanya ke atas untuk melihat indahnya
langit. Malam itu rembulan memang tak bersinar terlalu terang, akan tetapi
jutaan bintang tetap setia menemani sang malam dengan keindahan kerlap=kerlip
cahayanya. Keindahan tersebut nampaknya membuat Taunang larut dalam lamunan,
diiringi dengan suara gemericik air yang berasal dari kolam Taunang mulai
mengingat ulang apa saja yang telah dialaminya dalam dua hari ini. Mulai dari
saat ia tersasar ke kota Siantar, menumpang dari satu kendaraan ke kendaraan lain
untuk bisa sampai ke kota Medan, bertemu dan berkenalan dengan wak Geng dan
pekerja-pekerja lainnya, diusilin oleh Nindrong dan Bulwan, berbelanja ke
pasar, diajari cara melayani pelanggan dengan baik dan benar, dipukul oleh
Bulwan, hingga akhirnya ia lagi-lagi tersasar dan dibawa oleh Ayu ke rumahnya.
Taunang sedikit heran karena entah mengapa dua hari ini terasa begitu panjang
untuknya, begitu banyak hal yang sudah ia lalui dalam rentang waktu dua hari
ini. Tapi ya sudahlah, Taunang tidak ingin terlalu memikirkan hal tersebut,
baginya kini yang terpenting adalah bagaimana caranya agar ia dapat terus
bekerja sebaik mungkin di kafe wak Geng, ia ingin membayar kepercayaan yang
telah diberikan oleh wak Geng dan Bulwan kepadanya. Ia ingin agar ia dapat selalu
bekerja bersama dengan sahabat-saha.....
“Nang!
Nang! Bangun Nang!”.
“Naaang!! Bangun!! Kok
malah tidur di sini sih? Bangun dong! Nang!! Nang!! Naaang!!”.
“Eh!! Kak Ayu, maaf kak
saya ketiduran, hehe”.
“Iya, gak apa-apa,
pasti karena aku kelamaan ya buatin minuman hangatnya. Maaf juga ya”.
“Gak kok, kakak gak
salah, sayanya aja yang tadi kecapekan, jadi pas ada waktu nyantai dikit
langsung ketiduran deh”.
“Oh gitu, yaudah deh
kalo gitu sekarang, nih! Ini minumannya, langsung diminum ya biar tubuhmu juga
hangat, sekalian juga biar kau juga gak masuk angin”.
“Widih, wedang jahe!!
Pas banget nih kalo diminum dingin-dingin kayak gini. Makasih ya kak, duh jadi
ngerepotin kakak nih, maaf ya kak”.
“Apa sih Nang? Dari
tadi minta maaf melulu, enggak kok, aku gak merasa direpotin. Yaudah diminum
tuh minumannya, nanti keburu dingin loh”.
“Iya kak, kalau gitu
saya minum ya, SLUUURRPPP!! Ah, enak kak, mantap belum pernah saya minum wedang
jahe seenak ini sebelumnya!!”.
“Wah syukurlah kalo kau
suka, biasanya sih gak ada yang pernah suka dengan minuman atau makanan yang
aku bikin, bahkan kucing peliharaanku aja kemarin opname 3 bulan dan harus
cangkok ginjal akibat makan makanan yang aku masak. Sebenarnya rencananya tadi
tuh aku mau buat susu coklat panas, cuma aku berinovasi dan nambahin ekstrak
jahe ke dalamnya biar lebih enak dan hangat, eh ternyata kau suka, haha,
syukurlah”.
“Iya kak, haha, kok
kebetulan banget ya bisa enak kayak gini, kakak memang hebat! Minuman buatan
kakak memang mantap bange.......”.
“Loh, Nang! Nang!! Kok
malah pingsan, Naaang!!”.
_____
KUKURUYUUUKKK!!!
KUKURUYUUUKKK!!! KUKURUYUUUKKK!!!
Meski sang mentari
masih belum mau menampakkan wujudnya secara utuh, namun kokok sang ayam jantan perlahan-lahan
mulai terdengar menyeruak damainya pagi seolah menjadi alarm untuk membangunkan
jiwa-jiwa yang masih terlelap dari mimpi panjangnya yang indah. Sementara itu
kicau burung juga mulai terdengar, menambah ramai suasana pagi hari yang indah.
Gagahnya suara kokok
ayam jantan dan ramainya bunyi kicauan burung-burung di pagi tersebut rupanya
membuat Taunang terusik, dengan mata yang masih terpejam ia mengernyitkan
dahinya dan berusaha untuk memulihkan kesadarannya. Perlahan namun pasti ia
membuka kedua matanya dan samar-samar ia melihat sebuah patung putri duyung
yang sedang membawa kendi berada tepat di depannya. Bahunya terasa sedikit
berat, dialihkannya pandangannya ke sebelah kanan dan ia melihat seseorang
berambut panjang berwarna hitam kecokelatan tengah menyenderkan kepala di
pundaknya. Kesadaran Taunang belum sepenuhnya pulih dan suasana di luar ruangan
juga saat itu masih cukup gelap sehingga Ia kemudian memutuskan untuk menarik
selimut, memejamkan matanya kembali, dan mencoba untuk kembali tidur.
Namun, tak sampai
semenit sejak Taunang mencoba memejamkan matanya kembali tiba-tiba ia langsung
terbangun dengan mata yang terbuka lebar. Taunang mencoba mengingat kembali apa
yang sebenarnya terjadi tadi malam hingga sampai-sampai ia bisa tidur di ayunan
dan alangkah berdebarnya jantung Taunang ketika ia mulai menyadari bahwa orang
yang tidur dengan menyenderkan kepala di pundaknya tersebut adalah Ayu. Ia
langsung salah tingkah, keringatnya langsung mengucur deras dan jantungnya
berdegup sangat kencang. Ia takut kalau-kalau ada orang yang melintas dan
melihat mereka sedang berduaan seperti itu. Tak mau berlama-lama, Taunang
kemudian bermaksud untuk membangunkan Ayu, namun melihat wajah polos gadis
tersebut saat tengah tidur, tak tega rasanya jika ia harus berbuat demikian.
Taunangpun kemudian mencoba untuk bangkit secara perlahan-lahan tanpa membuat
gerakan atau suara yang dapat membuat gadis tersebut terbangun.
“Maaf ya kak, kalau
harus pegang-pegang kepala kakak, bukan bermaksud enggak sopan, saya cuma mau
ngelurusin kepala kakak doang, maaf banget!!”. Ujar Taunang sembari berbisik.
Dipegangnya kepala Ayu
dengan kedua tangannya kemudian dengan hati-hati meluruskan posisi kepala Ayu
ke sandaran yang ada di ayunan. Taunang bangkit dan kemudian merapikan selimut
yang menutupi badan Ayu. Sama seperti Taunang, Ayu juga tidur dalam posisi
duduk di ayunan, hanya saja kepala Ayu menyandar tepat di lengan bagian atas atau
pundak dari Taunang. Taunang kembali merapikan selimut yang menutupi tubuh
gadis tersebut, kali ini ia merapikan bagian kaki sehingga fokus pandangannya
kali ini hanya pada kaki Ayu. Setelah selesai menutupi kaki Ayu dengan selimut
Taunang kemudian menengadahkan kepalanya dan alangkah terkejutnya ia saat
melihat ternyata Ayu sudah menatapnya dengan tatapan yang tajam.